الْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ، وَالعَاقِبَةُ
لِلْمُتَّقِيْنَ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ
وَنَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ
وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَلِيُّ الصَّالِحِيْنَ
وَنَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَنَبِيَّنَا
مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِمَامُ الأَنبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ،
وَأَفْضَلُ خَلْقِ اللهِ أَجْمَعِيْنَ، صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلاَمُهُ عَلَيْهِ،
وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ
الدِّيْنِ. أَمَّا بَعْدُ : فَيَا عِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْااللهَ
حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Berikut naskah khutbah
Jumat singkat bertema Introspeksi
Diri untuk Tahun Depan Lebih Baik:
Khutbah
I
Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata:
حَاسِبُوْا أَنْفُوْسَكُمْ
قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوْا
Artinya: “Hitung-hitunglah
diri kalian sebelum kalian dihitung (oleh Allah)”.
Maasyiral muslimin
rahimakumullah,
Tahun 2021 segera berakhir dan akan memasuki tahun baru 2022 dalam kalender
Masehi.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya kita terus melakukan muhasabah, yakni
menghitung kedirian kita atau instropeksi atas apa yang kita lakukan selama
satu tahun, sehingga dapat menjadi pijakan kita dalam melangkah tahun-tahun
berikutnya.
pesan Sayyidina Ali karramallahu wajhah, sebagaimana termaktub
dalam kitab Nashaihul Ibad karya Ibnu Hajar al-Asqalani:
كُنْ عِنْدَ اللهِ خَيْرَ النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّفْسِ شَرَّ
النَّاسِ وَكُنْ عِنْدَ النَّاسِ رَجُلاً مِنَ النَّاسِ
“Jadilah manusia yang
paling baik di sisi Allah, dan jadilah manusia yang paling jelek dalam pandangan
dirimu, serta jadilah manusia biasa di hadapan orang lain.”
Jamaah Jumat
rahimakumullah,
Pesan ini memberikan arahan yang sangat luar biasa bagi umat Islam dalam
mengarungi kehidupan dunia, demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Pertama,
kita diharapkan terus meningkatkan ketakwaan dan amal kebaikan
di hadapan Allah subhanahu wata‘ala. Menjalankan perintah-Nya dan sedapat
mungkin menjauhi apa yang menjadi pantangan atau larangan dalam kehidupan
sesuai dengan tuntunan agama. Sehingga kita bisa menjadi manusia yang baik di
sisi-Nya.
Kedua,
kita harus merasa kurang atas amal kebaikan yang kita lakukan
dengan terus merasa diri kita jelek. Hal ini bukan berarti merendahkan diri,
namun untuk menjauhkan kita dari sikap ujub (sombong), riya (pamer), dan sum’ah
(mengharap pujian orang lain).
Ketiga,
kita harus menundukkan diri di hadapan orang lain dengan tidak
merasa lebih baik. Mungkin banyak di antara kita ketika melihat orang lain,
merasa dirinya lebih baik atau lebih mulia.
Maasyiral muslimin
rakhimakumullah,
Lantas bagaimana kita mampu mendorong diri kita untuk terus berbuat kebaikan
tersebut?
Syekh Abdul Qadir al-Jailani:
Pertama,
jika kita melihat orang
lain hendaknya kita memandangnya bahwa dia memiliki kelebihan daripada diri
kita sendiri, mungkin dia lebih bertakwa, lebih banyak amal kebajikannya, lebih
tinggi derajatnya di hadapan Allah subhanahu wata‘ala.
Kedua,
jika kita melihat anak kecil atau lebih muda,
jangan kita merasa lebih baik darinya.
Katakanlah, “Mungkin dia dosanya lebih sedikit daripada diriku,
karena umurnya lebih sedikit dariku.”
Sebaliknya jika kita melihat orang lebih tua, hendaknya kita
melihat bahwa dia telah berbuat kebaikan lebih banyak dari diri kita.
Ketiga,
jika kita melihat orang
alim, orang yang memiliki ilmu, hendaknya kita menilainya dia memiliki cara
yang baik dan benar mengamalkan pengetahuannya dan telah berbuat kebaikan
dengan ilmunya tersebut.
Sebaliknya jika kita melihat orang bodoh, hendaknya kita katakan,
“Mungkin dia berbuat dosa atau salah akibat ketidaktahuannya, sementara kita
lebih berdosa karena berbuat salah pengetahuan pengetahuan yang kita miliki.”
Orang bodoh berbuat salah bisa jadi karena ketidaktahuannya,
sementara orang alim (memiliki pengetahuan) berbuat dosa bukan karena tidak
tahu.
Hadirin jamaah Jumat yang dimuliakan Allah
Instrospeksi diri bukan hanya dilakukan sekali, namun harus
menjadi bagian yang tertanam dalam kehidupan kita sehari-hari.
Rasulullah SAW bersabda:)
اَلْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ
الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللهِ
(رواه أحمد
“Orang yang cerdas (sukses)
adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk
kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang
mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah” (HR
Ahmad).
Allah menyebutkan di
dalam ayat-Nya:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُواْ إِلاَّ
بِحَبْلٍ مِّنْ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ النَّاسِ وَبَآؤُوا بِغَضَبٍ مِّنَ اللَّهِ
وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُواْ يَكْفُرُونَ
بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأَنبِيَاء بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوا
وَّكَانُواْ يَعْتَدُونَ
Artinya:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka
berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia dan
mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan.
Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para
Nabi tanpa alasan yang benar. yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan
melampaui batas.” (QS Ali Imran : 112).
Hablum minallah dalam pengertian syariah
sebagaimana dijelaskan di dalam tafsir At-Thabari, Al-Baghawi, dan tafsir Ibnu
Katsir adalah “Perjanjian dari Allah, maksudnya adalah masuk Islam atau beriman
dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan di akhirat”.
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa untuk membangun hubungan
kita kepada Allah, kita mempunyai kewajiban untuk menunaikan hak-hak Allah.
Hak-hak Allah ialah mentauhidkan Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang
lain. Hak Allah adalah menjalankan syariat Allah, beribadah kepada-Nya dengan
tulus ikhlas.
Kita tulus, ikhlas, ridha dan senang, bergembira menyambut
seruan azan untu shalat fardhu. Kita pun merasa ringan untuk menambah ama-amal
sunnah, mulai dari shalat qabliyah dan ba’diyah, shalat Dhuha hingga shalat
Tahajud. Kita pun gemar bertadarus Al-Quran, khusyu dalam dzikir dan doa, serta
selalu membasahi lisan kita dengan kalimah istighfar dan shalawat.
Kedua adalah hablum minannaas. Karena kita adalah
makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa peran, bantuan dan kerjasama dengan
orang lain.
Maka, di dalam Al-Quran acapkali terdapat ayat-ayat yang
menyebutkan tentang perintah mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan hablum
minallaah, sekaligus diiringi juga dengan hablum minannaas. Di antaranya:
وَاعْبُدُواْ اللَّهَ وَلاَ تُشْرِكُواْ بِهِ
شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ
بِالجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ إِنَّ اللَّهَ لاَ
يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالاً فَخُورًا
Artinya: “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS An-Nisa: 36).
Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa hablum minallah dan hablum
minannas adalah bagai dua sisi mata uang yang tidak boleh dipisahkan. Itulah
kepribadian seorang mukmin sejati.